14 Mei 2009

MIE AYAM KERAMAT

Jika kita mendengar kata-kata KERAMAT, seringkali di benak kita timbul gambar-gambar yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau mistis dan berkesan horor. Bukan sepenuhnya salah kita sebetulnya, karena sejak masih anak-anak kita dijejali dengan berbagai bentuk doktrin yang menyebabkan kita selalu mengasosiasikan kata keramat dengan berbagai hal yang bisa membuat bulu kuduk kita meremang.

Hal itu juga yang ada dibenak saya saat mendapati sebuah penjual mie ayam yang mengembel-embeli gerobaknya dengan kata-kata keramat. "MIE AYAM KERAMAT" begitu judul yang tertera pada gerobak mie berwarna kecoklatan yang mangkal disatu sudut jalan didaerah Joglo, Jakarta Barat. Konon kabarnya, berdasarkan informasi yang bisa saya kumpulkan dari teman-teman saya yang sudah mencoba, gerobak mie ayam tersebut terletak persis di pintu masuk kuburan yang tidak jauh dari lokasi sekolah saya di bawah pohon beringin yang kata orang-orang sekitarnya sudah ada dari jaman Belanda.

Menurut cerita juga, si pedagang sendiri tidak kalah antik dan menambah kesan horor-nya jadi lebih kental. Pasalnya, laki-laki paruh baya dengan tampang 'seram' itu tidak pernah bicara dan selalu melayani para pembelinya dengan diam. Begitu pun istrinya yang hanya menjawab seperlunya saat para pembeli hendak membayar makanan mereka. Pokoknya horor deh!

Rasa penasaran membuat saya datang dan memberanikan diri mendatangi gerobak mie ayam itu dan menyaksikan sendiri apa yang dilihat teman-teman saya sebelumnya. Apa yang saya saksikan persis seperti apa yang digambarkan orang-orang. Si penjual yang merupakan lelaki paruh baya berusia sekitar empat puluhan dan istrinya yang berusia kurang lebih sama, melayani pesanan saya dengan diam dan raut wajah kaku tanpa ekspresi.  Rambut keriting panjangnya diikat sembarangan kebelakang dengan sebuah blangkon bertengger diatas kepalanya. Wajah tanpa senyum itu kian bertambah seram dengan hadirnya kumis 'mbaplang' ala pak Raden pada serial si Unyil yang biasa saya tonton waktu SD. Secara keseluruhan penampilannya mirip dukun dalam film-film tante Suzanna dimasa jayanya dulu.

Meskipun bukan penggemar mie ayam dan dalam keadaan yang tidak terlalu lapar saat itu, saya tetap harus mengakui bahwa mie ayam keramat itu memang luar biasa enak. Mie-nya pulen dan daging ayamnya gurih ditambah pangsit rebus enak yang membuat lidah bergoyang. Sampai suapan terakhir dan tiba saatnya membayar tetap perlakuan kaku yang saya terima dari pasangan penjual mie itu dan menambah kesan angker yang selama ini sudah melekat pada mereka.

Minggu lalu, seusai menghadiri khitanan anak teman smp saya, sekitar dua puluh tahun setelah kunjungan saya ke mie ayam keramat dulu. Saya mengajak suami untuk mencoba lagi mie ayam yang dulu tersohor karena keangkerannya itu. Ternyata gerobak itu sudah tidak ada lagi meskipun pohon beringin tua masih berdiri kokoh di tempatnya. Sambil menikmati teh botol dingin saya sambil lalu saya bertanya pada penjual teh botol yang berbodi mirip Tina Toon 10 tahun yang lalu.

Menurutnya, Pak Keramat sudah lama meninggal dan istrinya pulang kampung tidak lama sesudahnya. Mereka berdua tidak memiliki keturunan jadi tidak ada penerus kerajaan bisnis mie ayam itu. Butuh dua puluh tahun buat saya untuk tahu bahwa nama KERAMAT yang selama ini melekat dan memberikan kesan angker itu adalah nama si penjual yang selama ini selalu melayani pembelinya dengan diam.

Butuh duapuluh tahun bagi saya untuk tahu kenyataan itu dan saya tidak yakin teman-teman saya juga tahu itu. Dan fakta penting lainnya selain nama KERAMAT yang ternyata adalah nama si penjual mie, ternyata pak keramat yang tidak pernah bicara saat melayani pembelinya itu memang tidak bisa bicara alias bisu.




OPERA METROMINI

Jaman dulu saya ingat ada Film yang judulnya OPERA JAKARTA yang dibintangi oleh Sorayya Perrucha dan Ray Sahetapy kayaknya kalau saya nggak salah ingat. Yang dalam kacamata saya sebagai anak-anak sih nggak terlalu ok. Yah karena nggak banyak film Indonesia jaman itu selain film horror-nya tante Suzanna jadi yah saya ikut-ikut aja nonton film itu.

Tapi pengalaman saya hari ini nggak ada hubungannya dengan film itu sih. Tapi paling tidak sebagai warga Jakarta saya mengalami salah satu episode yang setiap hari dijalani oleh setiap orang yang tinggal di kota yang penuh sesak ini apalagi yang tidak punya mobil pribadi. Terpaksa deh menggantungkan diri dengan benda besar yang dilengkapi dengan banyak jendela bernama BUS.

Jakarta sendiri memiliki berbagai macam bus kota dengan berbagai ukuran sebagai penghubung transportasi antar wilayahnya yang membuat kondisi lalulintasnya yang sudah padat menjadi semakin semrawut. Tak heran jarak yang dekat di Jakarta harus ditempuh selama berjam-jam hampir sama dengan menyetir ke daerah purwakarta yang saya lakoni 2 kali seminggu.

Yah memang nasib harus naik metromini hari ini. Bus umum berwarna orange dengan no tujuan dari karton spotlight merah menyala di kaca depan. Dengan barisan kursi keras yang juga berwarna orange (kadang-kadang biru) sebenarnya bukan transportasi yang buruk juga mengingat orang hanya perlu membayar Rp. 2000, harga yang murah untuk jarak tempuh yang lumayan jauh. Tapi dengan biaya yang murah ini juga banyak pemakluman yang harus anda buat apabila anda naik sarana transportasi yang satu ini. Pasalnya supir metromini biasanya punya aturan lalulintas sendiri dan menentukan sendiri kapan dia mau berhenti tak perduli rambu-rambu lalu lintas yang ada.

Saya terpaksa harus menunggu metromini yang saya tumpangi berhenti selama hampir 15 menit untuk jarak tempuh yang sebenarnya kurang dari 15 menit. Di temani nyanyian dari 4 pengamen yang datang silih berganti dan masing-masing menyanyikan 2 buah lagu (3 diantaranya menyanyikan lagu dari kelompok musik kuburan) merupakan sebuah hal yang begitu menyiksa. Ketik akhirnya si supir bersedia beranjak dari tempat ngetemnya, tiba-tiba sebuah metromini dengan jurusan yang sama muncul dan membuat supir metromini saya kebakaran jenggot dan menginjak gas sedalam-dalamnya. Walhasil, jarak yang semestinya ditempuh selama sekitar 12 menit bisa dicapai dalam waktu sekitar 5 menit saja.

Phuff.....dari kebosanan akibat menunggu berubah menjadi sebuah ketegangan yang membuat jantung saya hampir copot. Saya mengucap syukur ketika dengan selamat saya menjejakkan kaki saya di tanah. Ah....jikalau saya adalah seorang sutradara sekelas Sjuman Djaya yang dulu sukses membuat film OPERA JAKARTA mungkin saya akan membuat film tandingan dari film legendaris tersebut yakni OPERA METRO(MINI) yang bintang utamanya adalah saya sendiri.

1 Mei 2009

SUDIRMAN VS SUDARMIN


Laki-laki yang dianggap paling romantis sedunia (baca:shakespeare) pernah membuat sebuah kutipan populer yang berbunyi apalah artinya sebuah nama. Ada yang menganggap kutipan itu benar tapi untuk sebagian besar masyarakat Indonesia nama adalah sebuah hal yang sangat penting yang bisa mewakili banyak aspek dalam hidup seperti rezeki, pengharapan, juga masa depan.

Lalu bagaimana dengan Sudirman dan Sudarmin? Dua nama itu merupakan typical names buat laki-laki dewasa yang berasal dari Pulau Jawa, mengesankan wibawa dan juga kharisma yang tinggi. Namun pada era millenium sekarang Sudirman dan Sudarmin tidak terlalu banyak lagi dipakai oleh banyak orangtua untuk nama anak-anaknya. Sudirman dan Sudarmin dan juga nama-nama sejenis tergusur oleh penggunaan nama yang diambil dari Alquran atau Alkitab tergantung kepercayaan yang dianut orangtua si anak seperti Raffli, Farhan, Yasmin, Anissa, Yosephine, Nathaniel, dan Gabriel.

Sebuah Talk Show pemenang Panasonic Award baru-baru ini pernah mengeluarkan statement melalui salah seorang co-host-nya yang mungkin menurut saya sedikit 'lebay'. Pada saat kuis interaktif dan salah seorang penelpon menyebut namanya yang memang sedikit berbau kedaerahan, si co-host cantik nan seksi dengan spontan nyeletuk "kok masih ada sih nama kayak begini??". Untung si empunya nama adalah jenis orang yang sabar dan tidak gampang tersinggung (soalnya dapat Rp. 750.000, sih!!!) karena jika dia itu adalah saya, saya akan balik nyeletuk dan bilang "biarin nama situ juga mirip sama merk motor suami saya".

Tapi di era yang modern seperti sekarang ini, dimana nama-nama asli Indonesia yang datang dari berbagai suku di seluruh Nusantara mulai tergusur dengan nama-nama modern namun beberapa nama seperti Sudirman, Thamrin, Suyoto, Soetomo, Gatot Subroto dan lain-lain masih tetap eksis. Buktinya nama-nama seperti itulah yang diabadikan sebagai nama-nama Jalan Protokol dan bangunan-bangunan penting seperti rumah sakit. Seumur-umur saya belum pernah tuh dengar ada jalan VEGA ataupun rumah sakit dengan nama yang sama. Yah paling-paling merk motor itu tadi.

Tetapi tanpa bermaksud untuk merendahkan para pria bernama Sudarmin, sampai saat ini Sudirman masih menempati posisi kepopuleran lebih tinggi dengan diabadikannya Sudirman menjadi salah satu jalan protokol di Jakarta yang ditempati gedung-gedung perkantoran mewah dan pusat belanja modern. Pokoknya bangga deh kalau punya kantor disana dan melewatkan hari untuk nongkrong di salah satu mall elit yang ada di jalan itu.

Namun saya menemukan bahwa Sudarmin pun tidak kalah populer dengan Sudirman. Ada seorang teman expatriate asal Australia di Jakarta bertanya tentang sebuah gedung perkantoran di jalan Sudarmin sehari sebelum dia meeting bersama dengan sebuah produsen keju terkenal. Supirnya yang bernama Supardi yang notabene orang Indonesia tulen dan berprofesi sebagai Supir Pribadi di Jakarta bertahun-tahun kebingungan karena tidak menemukan Jl. Sudarmin di peta yang ada di mobil majikannya itu. Setelah bingung sesaat saya menemukan bahwa jalan yang dimaksud adalah Jalan Sudirman. Tapi bagi Greg, teman saya itu sampai masa tugasnya di Jakarta selesai jalan Sudirman tetaplah jalan Sudarmin dan akan dikenangnya dan akan terus tercatat dalam riwayat pekerjaannya karena dengan perusahaan keju di jalan Sudarmin dia memenangkan proyek kerja dengan nilai yang fantansis.