25 Nov 2009

A STORY ABOUT KUTANG AND TEMPE

Kutang dan tempe adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Kutang adalah sebutan masyarakat Indonesia jaman dulu untuk menyebutkan pakaian dalam wanita yang sekarang dikenal sebagai Bra atau BH. Sementara tempe adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari kacang kedelai dan konon hanya bisa ditemui di Indonesia.

Lalu apa hubungannya antara kutang dan tempe selain sama-sama berasal dari Indonesia (saya tidak pernah menyelidiki apakah ada negara lain yang juga menyebutkan Bra dengan sebutan kutang atau ada negara lain yang menyediakan tempe sebagai lauk hariannya)?? Mungkin tidak ada hubungan secara langsung kecuali bahwa semua perempuan Indonesia dewasa yang kemana-mana memakai kutang besar kemungkinan makan tempe juga sebagai lauk dan teman makan nasinya.

Sudah lama sebenarnya saya ingin menuliskan cerita kutang dan tempe ini tapi selalu lupa. Cerita ini saya dapat dari omelan seorang tetangga pria yang saat itu bercerita pada ibu saya tentang istrinya baru saja pulang dari pasar sambil menangis karena merasa dilecehkan oleh seorang penjual kutang.

Saya lupa berapa usia saya waktu itu yang pasti mendengar cerita itu saya tahu bahwa tidak ada unsur pelecehan sama sekali yang dilakukan oleh si penjual kutang yang hingga cerita ini saya tulis belum pernah saya lihat tampangnya seperti apa.

Kembali kemasalahan perkutangan, dalam cerita tetangga saya itu si istri yang sedang berbelanja keperluan sehari-hari seperti sayuran dan lain-lain berjalan melewati penjual kutang yang serta merta menawarkan barang dagangannya dengan penuh semangat sambil melambai-lambaikan kutang-kutang dagangannya pada si ibu yang seingat saya dulu adalah wanita muda (kira-kira seumur saya sekarang) dengan tampilan fisik yang lumayan menarik.

Sambil menandak-nandak menahan marah sang suami menyebutkan... "kutang bu..kutang! Warnanya macam-macam"! katanya menirukan kata-kata si penjual kutang yang sebelumnya dia dengar dari cerita istrinya yang tampaknya masih sangat terpukul akibat insiden kutang di pasar tadi.

Saya ingat ibu saya hanya diam dan sesekali tersenyum menanggapi cerita itu dan tetap tak berkomentar sampai si suami yang terluka harga dirinya itu puas mengeluarkan semua unek-uneknya. Lalu setelah berselang beberapa lama, ibu saya bertanya dengan tenang pada si suami apa kira-kira kata-kata apa yang akan digunakan si suami untuk menawarkan barang dagangannya jika dia adalah si penjual kutang?

Si suami tidak menjawab hanya raut wajahnya yang berubah kemerahan dan memohon izin untuk melihat keadaan istrinya di dalam rumah. Saya tertawa keras saat itu yang dihadiahkan cubitan keras di paha oleh ibu saya yang melotot.

Saya geli, karena orang seumur tetangga saya itu masih belum bisa membedakan mana bentuk pelecehan dan mana yang tidak. Setiap pedagang pasti berusaha menjual barang dagangannya dengan cara apapun. Dan menurut saya sah-sah saja seorang penjual kutang menyebutkan kata "KUTANG" sambil melambai-lambaikan kutang dagangannya karena memang itulah produk yang dia jual.

Tapi akan menjadi sebuah pelecehan apabila si tukang kutang berteriak-teriak "tempe bu...tempe bu" sambil melambai-lambaikan kutang berwarna warni pada ibu-ibu yang lewat.