17 Feb 2010

INDONESIAN....WOOD

Sebagai orang Indonesia saya cukup bangga dengan perkembangan dunia film Indonesia pada saat ini. Banyak film bagus dan bermutu yang dibuat di Indonesia oleh orang Indonesia yang memang memiliki kreativitas tinggi yang tidak kalah dengan para pembuat film di luar negeri.

Sebut saja film-film seperti PASIR BERBISIK, PETUALANGAN SHERINA, ADA ADA DENGAN CINTA, GIE, dan yang paling fenomenal LASKAR PELANGI yang mencatat jumlah penonton yang paling fantastis sepanjang sejarah perfilm-an Indonesia yaitu 4,6 juta penonton. 

LASKAR PELANGI, cerita yang diangkat dari novel laris karya ANDREA HIRATA yang sekaligus merupakan kisah nyata masa kecil sang penulis dan pengalamannya bersekolah di sekolah yang nyaris roboh di daerah pedalaman  BALITONG, pulau kaya akan TIMAH dan pantai-pantainya yang cantik di  suatu sudut Sumatera namun menyimpan  begitu banyak kisah sedih dan haru (sekaligus lucu) dari hidup seorang ANDREA HIRATA kecil yang diwakili sosok anak lelaki kecil  berambut keriting bernama Ikal. 

LASKAR PELANGI (yang memenangi banyak sekali penghargaan di berbagai festival film di seluruh dunia) memikat dan menginspirasi begitu banyak orang dengan para tokoh yang bermain didalamnya. Pengabdian tulus ibu guru Muslimah dan juga anak-anak miskin (tapi pintar) seperti Lintang yang tinggal didaerah pedalaman yang harus bersepeda menempuh jarak 40 km sekali jalan (setiap hari) dan harus berurusan dengan buaya, mampu membuka mata anak-anak kota yang dimanjakan berbagai fasilitas dan kemudahan oleh orangtua mereka.

Selain LASKAR, banyak film bermutu lainnya yang sayangnya tidak sesukses (atau seberuntung) LASKAR PELANGI. Sebut saja film RUMAH MAIDA, JAMILAH DAN SANG PRESIDEN, dan EMAK INGIN NAIK HAJI yang saat media preview menuai banyak sekali pujian dari kalangan media yang memang sangat kritis. EINH, karya ADITYA GUMAY mendapatkan pujian dan acungan jempol hampir disemua aspek dari film yang berbudget rendah tersebut. EINH yang dirilis bertepatan dengan momen ibadah haji saat umat muslim yang mampu sedang menunaikan rukun islam yang ke lima tersebut. 

Sayang, EINH yang meskipun menuai banyak pujian tidak mampu melawan faktor X yang terkadang menjadi batu sandungan di jalan sukses film-film semacam EINH. Faktor X yang membuat sang sutradara sibuk bagaimana caranya film bagus itu tidak lengser sebelum waktunya dari bioskop-bioskop. Tapi kenyataan berkata lain. EINH yang diajungi banyak jempol oleh media ditonton oleh kurang dari 200.000 selama masa penayangannya di bioskop. EINH terpaksa lengser dari bioskop saat para jemaah haji belum sempat menonton karena belum kembali dari Tanah Suci. EINH kalah bersaing dengan si faktor X yang berjudul 2012 yang jujur saja cuma menang di efek yang idenya masih sama dengan film-film sejenis seperti DEEP IMPACT dan INDEPENDENCE DAY. Malah menurut saya pribadi, DI dan ID masih lebih bagus dari 2012 dilihat dari ceritanya.

Untungnya saya nggak terbawa hawa napsu dan ikut mengantri seperti teman-teman saya yang lain yang akhirnya pada ngomel karena 2012 tidak seperti apa yang mereka harapkan. Tapi ngomong-ngomong tentang napsu, akhir-akhir ini saya memang nggak terlalu bernapsu nonton (apalagi sampai harus ngantri) film-film luar. Makin hari saya merasa bahwa film Indonesia nggak kalah kok dengan film-film bule. Yah tentunya diluar film-film horor dengan judul-judul aneh yang juga marak dibuat.
Bukannya nggak mungkin Indonesia punya (atau jadi) pusat perfilm-an di Asia seperti India dengan BOLLYWOOD-nya. Saya yakin dan percaya dengan bakat-bakat yang ada dan mental hanya menghasilkan film bermutu yang tidak semata-mata menghabiskan dana besar-besaran (tapi film-nya biasa-biasa saja dan cenderung mengecewakan) suatu hari nanti akan ada HOLLYWOOD versi Indonesia yang jauh lebih gemerlap dari HOLLYWOOD atau BOLLYWOOD atau WOOD-WOOD yang lain. Toh Indonesia punya banyak hutan yang tentunya banyak sekali wood disana alias kayu........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar